KABARKALSEL.COM, JAKARTA - Keputusan penting diambil Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Mulai 2029 mendatang, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pilkada akan digabung.
Demikian tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Putusan tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan yang digelar, Kamis (26/06/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dikutip dari siniar resmi MK, dinyatakan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," papar Ketua MK, Suhartoyo, ketika membacakan amar putusan.
Dimaksud pemilu nasional adalah pemilihan anggota DPR dan DPD atau pemilu legislatif, serta presiden dan wakil presiden.
Sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota atau pemilu legislatif, serta kepala dan wakil daerah.
Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan waktu penyelenggaraan pemilu nasional yang terlalu dekat dengan pelaksanaan pemilu daerah menyulitkan pemilih.
Penyebabnya pemilih tak punya cukup waktu menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.
Dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan anggota DPRD dalam keserentakan pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden, masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
MK juga mempertimbangkan bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 tahun dengan pilkada, juga berimplikasi kepada partai politik.
Salah satunya berkaitan dengan kemampuan partai untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.
Akibatnya partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.
Dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk merekrut calon anggota legislatif di tiga level sekaligus.
Sedangkan untuk partai politik tertentu, mereka harus pula mempersiapkan kader untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden.
Agenda yang berdekatan tersebut juga melemahkan pelembagaan partai politik, sehingga tidak berdaya ketika berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
“Akibatnya perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilu membuka lebar peluang yang didasarkan kepada sifat transaksional, sehingga pemilu jauh dari proses yang ideal dan demokratis," tambah hkakim konstitusi Arief Hidayat.
"Sejumlah bentangan empirik tersebut menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral," imbuhnya.
Dari sisi pemilih, MK mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan nasional dan daerah yang berdekatan, juga berpotensi membuat pemilih jenuh.
Bahkan kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD.
"Fokus pemilih terpecah kepada pilihan calon yang terlampau banyak. Sementara waktu yang tersedia untuk mencoblos cukup terbatas. Kondisi ini dapat bermuara kepada penurunan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilu," sahut Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala/wakil kepal daerah hasil Pilkada 2024, dan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil Pemilu 2024, MK menyerahkan kepada pembentuk undang-undang.