KABARKALSEL.COM, BANJARBARU - Vonis yang dijatuhkan kepada prajurit TNI AL pembunuh jurnalis di Banjarbaru, jauh berbeda dibanding keinginan keluarga korban.
Terdakwa Kelasi Satu (KLS) Jumran hanya divonis pidana penjara seumur hidup, setelah terbukti melakukan pembunuhan berencana kepada Juwita (23).
Adapun vonis kepada terdakwa dibacakan dalam sidang di Pengadilan Militer (Dilmil) I-06 Banjarmasin, Sabtu (16/06/2025).
"Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana, sehingga dijatuhi pidana pokok berupa penjara selama seumur hidup," papar ketua majelis hakim Letkol Chk Arie Fitriansyah ketika membacakan amar putusan.
Selain pidana pokok, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer TNI AL terhitung sejak putusan dibacakan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Setelah mendengarkan putusan dan diberi kesempatan memilih, Jumran yang berkoordinasi dengan penasihat hukum menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.
Selanjutnya majelis hakim memberikan waktu selama 7 hari kepada terdakwa atas sikap pikir-pikir. Adapun tenggat waktu yang diberikan dimulai, Selasa (17/6).
Sementara Kepala Oditurat Militer (Odmil) III-15 Banjarmasin, Letkol Chk Sunandi, menyatakan vonis hakim sejalan dengan tuntutan.
"Putusan sudah dibacakan oleh majelis hakim. Adapun Hukuman yang dijatuhkan sesuai tuntutan kami," tegas Sunandi.
"Semua unsur pidana terpenuhi, dan perbuatan terdakwa telah mencoreng institusi militer sekaligus melukai rasa keadilan masyarakat," imbuhnya.
Namun keluarga korban menegaskan seharusnya hakim dapat memvonis terdakwa dengan pidana maksimal berupa hukuman mati.
"Berdasarkan fakta persidangan, seharusnya hukuman mati karena hakim bisa menggunakan ultra petita (putusan diatas tuntutan)," sahut Muhammad Pazri selalu penasihat hukum keluarga korban dikutip dari Antara.
"Apalagi terdakwa adalah aparat negara. Artinya hukuman mati bisa menjadi efek jera agar aparat tidak semena-mena kepada sipil," cetusnya.
Selain vonis tidak sesuai keinginan, keluarga korban juga menyoroti penolakan hakim terhadap biaya ganti rugi (restitusi) sebesar Rp287 juta yang harus dibayarkan terdakwa.
Penyebabnya hakim mempertimbangkan kondisi ekonomi terdakwa, selain telah dijatuhi pidana penjara seumur hidup.
Di sisi lain, restitusi telah mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas HAM.
"Kalau terdakwa tidak dapat membayar restitusi karena tidak mampu atau meninggal dunia, ahli waris dapat menggantikan posisi terdakwa dalam memenuhi kewajiban," jelas Pazri.
"Dalam putusan hakim tersebut, keluarga korban merasa bahwa putusan belum memberikan keadilan," tutupnya.