Chauvinisme Budaya: Ketika Kebanggaan Berlebih Berujung Petaka

BEBERAPA waktu lalu, Wasi Pusaka Banua (Wasaka) mengadakan acara bukber yang dihadiri oleh seluruh anggota di seluruh Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. 

Apr 4, 2025 - 19:52
Apr 4, 2025 - 19:52
Chauvinisme Budaya: Ketika Kebanggaan Berlebih Berujung Petaka
Syarifudin Nur (Komunitas Pelestari Pusaka, Pecinta Pusaka, dan Pemerhati Budaya)

BEBERAPA waktu lalu, Wasi Pusaka Banua (Wasaka) mengadakan acara bukber yang dihadiri oleh seluruh anggota di seluruh Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. 

Kemudian menjelang senja, mengadakan diskusi menjelang berbuka puasa dengan tema 'Merawat Pusaka Banua di Tengah Arus Modernisasi'.

Kami mengundang Ir Achmad Rafieq MSi yang merupakan antropolog dan peneliti budaya dari Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI).

Senja mulai beranjak menuju waktu berbuka, obrolan kami semakin hangat ditemani teh manis dan aroma opor kacang batumis kaya kuah rempah yang menguap di udara. 

Pak Rafik, demikian kami menyebut Achmad Rafieq, bukan sekadar akademisi, tetapi seorang penjelajah budaya yang mengamati masyarakat memperlakukan warisan leluhur, termasuk pusaka dan identitas budaya yang melekat.

Di tengah obrolan, Pak Rafik menyoroti tiga poin penting yang dapat dicermati:

1. Negara belum hadir dalam pelestarian benda pusaka dan peran ini justru diambil alih oleh organisasi masyarakat seperti Wasaka.

2. Wasaka harus lebih aktif dalam sosialisasi, agar eksistensi semakin dikenal dan bisa berkontribusi lebih luas.

3. Sekarang mulai muncul faham chauvinisme budaya yang mulai merusak harmoni antara komunitas Banjar dan Dayak, akibat kesalahpahaman dan narasi yang saling menjatuhkan. Ini berkembang di ranah sosial media. 

Achmad Rafieq mencermati hal tersebut dan kekhawatiran sebagai seorang antropolog tidak dapat disembunyikan. 

Dalam skala lokal, sebagian anak muda banua berdalih mengangkat budaya. Namun di sisi lain, kebanggaan terhadap budaya sendiri secara berlebihan akan menjadi bumerang dikemudian hari, terutama apabila tidak disikapi dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan  komprehensip.

Poin ketiga itukah yang menarik dan sekaligus mengkhawatirkan. Penyebabnya chauvinisme budaya adalah virus sosial yang kalau dibiarkan bisa merusak tatanan keberagaman di Kalimantan.

Saya akan mengulas makna chauvinisme yang diperoleh dari buku 'On Nationalism' karya Eric Hobsbawm. Buku ini mengupas nasionalisme berkembang, dari identitas budaya yang sehat hingga menjadi alat politik yang bisa memicu konflik.

Kemudian buku lain berjudul 'The Authoritarian Personality' karya Theodor Adorno membahas studi klasik yang menjelaskan kepribadian otoriter sering kali berakar kepada chauvinisme dan kepercayaan dengan superioritas kelompok sendiri.

Ketika Bangga Berubah Menjadi Buta

Chauvinisme berasal dari nama Nicolas Chauvin, seorang prajurit Prancis yang begitu fanatik terhadap Napoleon, sampai-sampai tidak bisa menerima fakta bahwa dunia tidak berputar di sekitar sang kaisar. 

Kemudian istilah chauvinisme berkembang menjadi sikap yang menganggap kelompok sendiri lebih unggul, sementara pihak lain diremehkan.

Dalam konteks budaya, chauvinisme muncul ketika seseorang begitu bangga dengan identitas budaya sendiri, sehingga menganggap budaya lain tidak bernilai. 

Akibatnya bukan menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri secara sehat, tetapi menciptakan persaingan tidak produktif yang berujung pada konflik.

Coba bayangkan misalnya seseorang berkata, "Budaya Banjar paling hebat! Dayak itu cuma suku terbelakang!" atau sebaliknya, "Banjar itu bukan suku murni, cuma hasil percampuran suku ini dan itu..!" 

Pernyataan semacam itu mungkin terasa sederhana, tapi kalau dibiarkan tumbuh di media sosial, lama-lama bisa membentuk polarisasi yang berbahaya.

Ketika Banjar dan Dayak Saling Serang di Medsos

Sekarang oknum dan beberapa oknum kelompok tertentu mengeklaim sedang 'mengangkat' budaya Banjar, tapi dengan cara merendahkan budaya Dayak. 

Sebaliknya terdapat juga sebagian orang dari komunitas Dayak yang menyebut Banjar sebagai 'suku campuran' dengan nada meremehkan.

Oknum-oknum itu berlindung dalam organisasi keormasan lokal yang membawa nama besar komunitas suku masing masing.

Padahal kalau mau jujur, adakah suku yang benar-benar 'murni'? Hampir semua kelompok etnis di dunia ini terbentuk dari proses migrasi, asimilasi, dan interaksi lintas budaya selama berabad-abad. 

Banjar sendiri merupakan hasil pertemuan berbagai etnis, termasuk Melayu, Dayak, Arab, Jawa dan sebagian bahkan etnis India dan Tionghoa. 

Dayak pun bukan satu entitas tunggal, tetapi terdiri dari berbagai sub-suku dengan ciri khas masing-masing. Pun ini sudah jelas dipaparkan dalam ilmu antropologi.

Artinya kalau masih sibuk memperdebatkan kemurnian suatu suku, mungkin orang tersebut perlu belajar sejarah dengan lebih serius, atau setidaknya berhenti menjadikan media sosial sebagai arena debat kusir yang tidak menghasilkan apa-apa selain panas di kepala. 

Bahkan bukan tidak mungkin si penghujat bukan orang Kalimantan asli, tetapi suku luar yang justru sedang memiliki proyek membenturkan suku-suku di Kalimantan.

Bahaya Chauvinisme Budaya

Bagaimanapun chauvinisme budaya ibarat api kecil yang kalau dibiarkan bisa membakar rumah sendiri. 
Berikut beberapa bahaya chauvinisme budaya:

1. Menyulut Konflik Sosial
Kalau chauvinisme terus dibiarkan, bukan tidak mungkin gesekan yang semula hanya di dunia maya bisa berujung ke dunia nyata. Sejarah sudah menunjukkan konflik etnis sering kali berawal dari sentimen serupa.

2. Menghambat Kolaborasi dan Kemajuan
Bayangkan kalau setiap komunitas sibuk merendahkan satu sama lain. Alih-alih bersinergi memajukan Kalimantan, justru terjadi persaingan tidak sehat  yang menghambat pembangunan sosial dan ekonomi.

3. Membentuk Pemahaman Sempit
Kalau seseorang hanya melihat budaya sendiri sebagai yang terbaik dan menolak memahami budaya lain, maka wawasan yang terbentuk akan menjadi terbatas. Padahal keberagaman justru adalah aset yang harus dirayakan, bukan dijadikan alasan untuk berkonflik.

Lalu, Apa Solusinya?

1. Literasi Budaya
Orang-orang perlu memahami bahwa menghargai budaya sendiri tidak berarti harus merendahkan budaya lain. Sejarah perlu dipelajari dengan pendekatan yang objektif, bukan berdasarkan asumsi atau narasi emosional di media sosial.

2. Bijak Menggunakan Media Sosial
Kalau ingin mengangkat budaya Banjar atau Dayak, lakukanh dengan cara yang santun dan informatif. Jangan menjadikan budaya lain sebagai lawan tanding, karena itu hanya akan memperkeruh suasana.

3. Wasaka Sebagai Jembatan Dialog
Wasaka bisa memainkan peran penting sebagai organisasi yang mempertemukan komunitas budaya Banjar dan Dayak dalam berbagai kegiatan, seperti seminar, pameran pusaka, dan diskusi lintas budaya. Dengan cara ini, stereotip negatif bisa dikikis, dan pemahaman yang lebih inklusif bisa dibangun.

4. Peran Pemerintah
Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Dukungan terhadap pelestarian budaya harus lebih nyata, baik dalam bentuk regulasi, pendanaan, maupun penyediaan ruang untuk dialog budaya yang sehat.

Mari Bangga dengan Budaya, Tanpa Merendahkan Budaya Lain

Mencintai budaya sendiri itu baik. Namun kalau rasa bangga itu berubah menjadi sikap merendahkan budaya lain, maka yang dibangun bukan kejayaan budaya, melainkan permusuhan tidak perlu.

Banjar dan Dayak telah hidup berdampingan selama berabad-abad. Sejarah mereka saling bersinggungan, dan tidak sedikit yang memiliki darah campuran dari keduanya. 

Artinya alih-alih bertengkar soal suku yang lebih murni, lebih baik fokus saja dengan cara menjaga warisan leluhur agar tetap lestari dan bermanfaat untuk generasi mendatang.

akhirnya budaya yang kuat bukan budaya yang sibuk merendahkan budaya lain, melainkan budaya yang mampu beradaptasi, berkembang, dan tetap relevan dengan zamannya.

Mari melestarikan budaya dengan kepala dingin, bukan dengan kepala panas, karena sejatinya warisan leluhur itu untuk dirawat, bukan untuk diperdebatkan tanpa ujung pangkal.

Syarifudin Nur
(Komunitas Pelestari Pusaka, Pecinta Pusaka, dan Pemerhati Budaya)

Page 1 of 1
Popular
  1. Pelaku Pencabulan di Marabahan Batola Ditangkap Usai Gelar Resepsi Perkawinan

  2. Gubernur Kalsel Rotasi Pejabat Eselon II, Berikut Daftar Selengkapnya

  3. Respons Kesulitan Petani, Menteri Pertanian Copot Jabatan Pimwil Bulog Kalsel

  4. Suntik Pengalaman di Lini Belakang, Barito Putera Rekrut Fabiano Beltrame

  5. Modus Antar Orang Tua, Seorang Pemuda Bawa Kabur Motor Warga Wanaraya Batola